Mahasiswa = Memikiran atau Dipikirkan Bangsa

MAHASISWA =

MEMIKIRKAN ATAU DIPIKIRKAN BANGSA

Oleh. Septiaji W.

Kabar yang bersua dari negara belanda pada tahun 1908 kala itu adalah,” Indische Vereeniging” sebuah nama organisasi mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di belanda yang melahirkan semangat untuk membawa perubahan wajah Indonesia dengan memunculkan identitas barunya lewat perkumpulan gerakan politik mahasiswa. Perhimpunan Indonesia (PI). Begitu mereka menyebutnya yang berkembang sejak bulan februari tahun 1925.

Perjuangan para the founding fathers kita untuk menjadi embrio tidak ditanggapi secara picik oleh mahasiswa angkatan 60-an. Pergulatan mereka dalam partisipasinya di bidang politik, sosial kemasyarakatan menjadikan peran mereka sangat melembaga. Sejak saat itu peran lembaga kemahasiswaan dianggap merupakan hal yang paling mendasar dalam mencetak para kader yang mumpuni.

Dalam kiprah pergerakan lembaga kemahasiswaan, citra lembaga kemahasiswaan pernah kehilangan pamor yang ketika itu pernah bernaung di bawah Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang di kontrol langsung oleh menpora. Kemudian pembekuan dewan mahasiswa sejak 28 januari 1978 yang melumpuhkan berbagai organisasi mahasiswa tingkat universitas maupun nasional, dilanjutkan dengan diberlakukannya Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK/BKK) yang sebagaian pengamat menilai sangat tidak edukatif dan banyak mengandung unsur politis.

Pasca NKK/BKK, agenda para birokrat untuk mengedepankan keterbukaan di lingkungan kampus mulai dilancarkan lewat PP 30 tahun 1990 yang mengisyaratkan dibentuknya kembali lembaga kemahasiswaan, yang pada akhirnya melahirkan era reformasi yang kini sudah merasa sangat fasih dianut oleh Indonesia, sampai tingkat kemapanannya dapat terlihat dengan banyaknya perguruan tinggi negeri yang mencantumkan dirinya dengan status BHMN.

Berbagai polemik yang ada dari mulai permasalahan status kemahasiswaan sampai permasalahan makna dari demokrasi itu sendiri Kami mencoba memaparkan berbagai opini mahasiswa UPI di tempat yang berbeda tentang perkembangan pergerakan mahasiswa pada era demokrasi saat ini.

Neo NKK/BKK

Dimulai dari otonomisasi kampus yang melahirkan citra baru dari pergerakan lembaga kemahasiswaan yang sebagian dari para aktivis mengira ada pemberlakuan model baru NKK/BKK. Hal ini dirasakan oleh Asep Muhammad ketua Himpunan Mahasiswa Sejarah UPI yang mengatakan“ saya merasa ada pemberlakuan NKK/BKK kembali walaupun tatanannya tidak sevulgar apa yang dulu dilakukan”. pemadatan kurikulum SKS, peraturan yang tidak dibolehkannya ber-kegiatan di malam hari, ditambah dengan masih mengakarnya kegiatan komersiliasi di UPI, merupakan bukti bahwa ada pembatasan mahasiswa untuk berkegiatan, sehingga pola pergerakan mahasiswa tidak pernah sesuai dengan agenda lembaga kemahasiswaan kata Asep Muhammad. Ilham Fahmi menteri Sospol BEM Republik Mahasiswa (Rema) UPI menilai serupa dengan adanya NKK/BKK model baru yang diterapkan kebijakan kampus. Ilham berpendapat “ porsi mahasiswa untuk berorganisasi kini mulai dipersempit dengan pencapaian peningkatan kegiatan mahasiswa yang hanya mengejar nilai kumulaif, dipotongnya jenjang masa kuliah empat sampai dengan lima tahun, kegiatan mahasiswa yang hanya disibukkan dari pagi hingga sore berkutat pada nilai, dan malamnya sudah tidak boleh berkegiatan, mengindikasikan adanya pembatasan kegiatan mahasiswa di kampus yang sangat terstruktur”.

Adanya pemampatan pergerakan mahasiswa yang murni saat ini, kata Asep Muhammad sangat berdampak kepada kebiasaan mahasiswa yang dulu punya sejarah mengembangkan situasi politik di Indonesia kini hanya berkutat pada kegiatan hura-hura saja. Dan sampai sekarang sikap/ sifat semacam itu terbawa pada visi dari pergerakan lembaga mahasiswa di tingkat Himpunan. Tingkat keseriusan rendah, sehingga sense of belonging pada diri mahasiswa sudah mulai pudar.

Diberlakukannya otonomi kampus malah membatasi dengan kebijakan-kebijakan yang tidak mengarah pada pengembangan nalar mahasiswa” kata Usam Sutarja selaku Ketua Himpunan Mahasiswa Mesin UPI. Sehingga, lanjut usam keberadaan status mahasiswa terkadang menjadi bias karena pengembangan yang hanya mengarah pada ekspresi emosional saja.

Lebih jauh usam mengemukakan,bahwa aktivitas kemahasiswaan yang semakin dibatasi justru memicu terjadinya tindak anarkis dari mahasiswa, bahkan dari kegiatan yang semakin terbatas mahasiswa ada yang mudah menarik diri dari kegiatan, memilih kegiatan yang aman-aman saja, yang mudah diijinkan oleh pihak kampus, kalau tidak diijinkan ya sudah, tidak ada bentuk tindakan yang represif dari mahasiswa.

Subkultur

Terlepas dari konsepsi pergerakan mahasiswa dari NKK/BKK yang kurang lebih sudah hampir 30 tahun dan lepasnya pengaruh system otoriter birokratik pada era soeharto, mahasiswa kini dengan label demokrasinya lebih mudah terkotak-kotak. Hal ini yang diamati oleh Zulkifli ketua Keluarga Mahasiswa Ilkom (KEMAKOM) UPI, menururt Zulkifli, “mahasiswa kini menjadi mudah terkotak-kotak menjadi beberapa kategori, ada yang mahasiswa konsen dengan akademisnya, ada mahasiswa yang lebih suka dengan dunia bisnis, ada mahasiswa yang aktif terlibat dengan organisasi, dan ada mahasiswa yang menyukai kegiatan unsur hura-hura belaka.” Hal yang senada diutarakan Ilham Fahmi,” adalah yang paling jelas terlihat para kaum akademisi yang masih terlena dengan otonomisasi BHMN hal ini yang dinilai oleh Ilham mahasiswa mengalami kelesuan dalam berorganisasi. Mahasiswa cenderung untuk memilih kegiatan yang hanya mengembangkan kepribadiannya saja tidak ada realisasi yang mensimulasikan sebagai posisinya yaitu agent of change.

Asep saepul bahri mahasiswa Geografi UPI mencoba menganalisis dari perkataan ahli Trow dan Clark, yang mengatakan perbedaan orientasi nilai akan mempengaruhi subkultur berkait erat dengan latar belakang kehidupan mahasiswa dan harapan-harapannya di masa depan. Ada empat kategori yang dapat diklasifikasikan dari perkataan ahli tersebut kata asep, yang pertama adalah subklutur akademik, yaitu kultur mahasiswa yang berkutat di akademik,kehidupan mereka lebih banyak berada di ruang kuliah, ruang praktikum dan dalam perpustakaan. Sebagaian dari mereka menyempatkan waktu dengan mengikuti kegiatan-kegiatan non-akademik dengan tujuan untuk pengembangan diri. Mereka kurang menyukai kegiatan hura-hura yang kurang bernilai keilmuan, karena Cuma membuang-buang waktu.

Subkultur yang kedua adalah kecenderungan mahasiswa ingin memasuki ke dalam dunia kerja. Menurut Asep pada kultur ini mahasiswa mendambakan lulus dengan cepat dan mendapat pekerjaan yang lebih baik. Kecendrungan mereka hanya berorientasi kerja dan minim kegiatan intelektualitas-nya. Subkultur ketiga lanjut Asep,adalah kultur dari pergerakan mahasiswa yang banyak terlibat dalam kegiatan social, mengikuti olahraga dan kesenian baik sebagai pemain atau sekadar menjadi penonton atau supporter. Dan yang terakhir adalah subkulutur dari mahasiswa yang mempunyai kecendrungan untuk mengejar hasrat pribadi dalam mendalami bidang keilmuan, beberapa dari mereka belajar dengan cara-cara yang informal dan sistematik.minat belajar yang tinggi dipenuhinya dengan cara membaca bacaan apa saja yang ia sukai. Mereka suka melibatkan diri dalam diskusi dan turun ke lapangan untuk memperoleh pengalaman langsung.

Abdurohman Nasir sekjend Unit Kegiatan Sosial Kemasyarakatan (UKSK) UPI menilai mahasiswa kini sangat mudah terlena dengan pengembangan softskill-nya saja,tidak ada kultur yang mencerminkan pergerakan mahasiswa pada masa lalu, namun yang paling penting kata nasir “mahasiswa jangan sampai terpolitisasi dengan partai politik, karena partai politik saat ini hanya mementingkan kepentingan partai yang semu saja, dan akan membiaskan arah pergerakan mahasiswa yang sebenarnya.” Hal yang sama diutarakan oleh Rahman hamdani ketua BEM Gema Ekonomi, menurut rahman budaya yang tercipta pada mahasiswa kini hanya sebatas hura-hura.

Jiwa Zaman

Pada konteks sejarah, mahasiswa mempunyai catatan tersendiri dalam menjiwai zaman-nya hal ini yang akan berbeda pergerakannya dengan kebutuhan di masa lalu, tutur Irwan Saepulloh selaku Ketua BEM Rema UPI. Menurut Irwan, “fenomena pergerakan mahasiswa yang saat ini lebih cenderung berkutat pada hal keprofesian, harus benar-benar optimal dalam mengemban potensial intelektual akademik, begitu juga dengan mahasiswa yang bergerak di luar ekstra parlementer juga harus bisa menyeimbangkan posisinya sebagai akademisi.”

Irwan mengungkapkan lebih jauh, mahasiswa kini harus mempunyai pola pergerakan baru yang tersistematis. ”dalam kor-nya, pergerakan mahasiswa harus mampu mempunyai pergerakan yang baru.” pembatasan yang menjadi tema sentrtal pada perkembangan mahasiswa kini harus mampu bergerak menciptakan citra baru. Pergerakan yang baru ini salah satunya dengan melembagakan aksi mahasiswa yang sudah disepakati dan pergerakannya jangan cenderung anarkis, pergerakanya harus dikemas secara unik. ”Sekarang kita tidak perlu lagi teriak-teriak dengan keras, tapi dengan penampilan teatrikal yang unik, diharapkan pesan aksi bisa tersampaikan dengan mudah mengajak untuk diliput oleh media, hal ini dilakukan Karena terkadang penampilan mahasiswa yang keras acap kali di tafsirkan negatif oleh mahasiswa baru dan masyarakat” tutur Irwan, menambahkan. Senada dengan Irwan, yazid Rukmayadi memaparkan kemampuan kondisi mahasiswa dalam menekankan sisi profesi harus ditingkatkan dengan tidak melakukan sesuatu yang sangat konyol.

Rahman Hamdani mempunyai harapan mahasiswa kini seharusnya menjadi solusi di masyarakat jangan menjadi masalah, bukan setelah lulus hanya menjadi pengangguran. ”kalau bisa mahasiswa menjadi pahlawan di daerah nya sendiri” mahasiswa sebagai elemen minoritas yang notabene punya tugas besar mengayomi masyarakat harus peka sejak dini. Orientasi mahasiswa kata ilham Fahmi ada dua yang pertama mahasiswa yang memikirkan bangsa, dan mahasiswa yang dipikirkan bangsa. Kita termasuk tipe mahasiswa yang mana selama prosesi demokrasi ini berlangsung, mahasiswa yang senang dimanja (dipikirkan-red) atau memikirkan nasib bangsa.***

Komentar